NAMA : MIRA FITRIANI
KELAS : 3EA25
NPM : 14212594
PENGARUH KEBUDAYAAN TERHADAP PEMBELIAN DAN KONSUMSI
1.Kebudayaan
Budaya adalah suatu cara hidup yang
berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari
generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk
sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan,
dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak
terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya
diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan
orang-orang yang berbada budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya,
membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.Budaya adalah suatu pola hidup
menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya
turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar
dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.Beberapa alasan mengapa orang
mengalami kesulitan ketika berkomunikasi dengan orang dari budaya lain terlihat
dalam definisi budaya: Budaya adalah suatu perangkat rumit nilai-nilai yang
dipolarisasikan oleh suatu citra yang mengandung pandangan atas keistimewaannya
sendiri.”Citra yang memaksa” itu mengambil bentuk-bentuk berbeda dalam berbagai
budaya seperti “individualisme kasar” di Amerika, “keselarasan individu dengan
alam” d Jepang dan “kepatuhan kolektif” di Cina. Citra budaya yang brsifat
memaksa tersebut membekali anggota-anggotanya dengan pedoman mengenai perilaku
yang layak dan menetapkan dunia makna dan nilai logis yang dapat dipinjam anggota-anggotanya
yang paling bersahaja untuk memperoleh rasa bermartabat dan pertalian dengan
hidup mereka.Dengan demikian, budayalah yang menyediakan suatu kerangka yang
koheren untuk mengorganisasikan aktivitas seseorang dan memungkinkannya
meramalkan perilaku orang lain.Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism.
Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial,norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.
2.Dimanakah seseorang menemukan nilai nilai yang
dianutnya?
Individu
tidak lahir dengan membawa nilai-nilai (values). Nilai-nilai ini diperoleh dan
berkembang melalui informasi, lingkungan keluarga, serta budaya sepanjang
perjalanan hidupnya. Mereka belajar dari keseharian dan menentukan tentang
nilai-nilai mana yang benar dan mana yang salah. Untuk memahami perbedaan
nilai-nilai kehidupan ini sangat tergantung pada situasi dan kondisi dimana
mereka tumbuh dan berkembang. Nilai-nilai tersebut diambil dengan berbagai cara
antara lain:
(1) Model atau contoh, dimana individu belajar tentang nilai-nilai yang baik atau buruk melalui observasi perilaku keluarga, sahabat, teman sejawat dan masyarakat lingkungannya dimana dia bergaul.
(2) Moralitas, diperoleh dari keluarga, ajaran agama, sekolah, dan institusi tempatnya bekerja dan memberikan ruang dan waktu atau kesempatan kepada individu untuk mempertimbangkan nilai-nilai yang berbeda.
(3) Sesuka hati adalah proses dimana adaptasi nilai-nilai ini kurang terarah dan sangat tergantung kepada nilai-nilai yang ada di dalam diri seseorang dan memilih serta mengembangkan sistem nilai-nilai tersebut menurut kemauan mereka sendiri. Hal ini lebih sering disebabkan karena kurangnya pendekatan, atau tidak adanya bimbingan atau pembinaan sehingga dapat menimbulkan kebingungan, dan konflik internal bagi individu tersebut.
(4) Penghargaan dan Sanksi : Perlakuan yang biasa diterima seperti: mendapatkan penghargaan bila menunjukkan perilaku yang baik, dan sebaliknya akan mendapat sanksi atau hukuman bila menunjukkan perilaku yang tidak baik.
(5) Tanggung jawab untuk memilih : adanya dorongan internal untuk menggali nilai-nilai tertentu dan mempertimbangkan konsekuensinya untuk diadaptasi. Disamping itu, adanya dukungan dan bimbingan dari seseorang yang akan menyempurnakan perkembangan sistem nilai dirinya sendiri.
3.Pengaruh budaya terhadap perilaku konsumen
Budaya mengacu pada
seperangkat nilai, gagasan, artefak dan simbol yang mempunyai makna, yang
membantu individu berkomunikasi, memberikan tafsiran serta melakukan evaluasi.
Budaya tidak hanya bersifat naluriah saja, namun budaya memberikan dampak pada
perilaku yang dapat diterima didalam masyarakat. Beberapa sikap dan perilaku
yang dipengaruhi budaya, meliputi : (James Engel,2002 :70).
a.
Rasa dan ruang
b.
Komunikasi dan bahasa
c.
Pakaian, penampilan
d.
Makanan dan kebiasaan makan
e.
Waktu
f. Hubungan
(keluarga, organisasi, pemerintah, dsbnya)
g.
Nilai dan norma
h.
Kepercayaan dan sikap
i.
Proses mental dan pembelajaran
j.
Kebiasaan kerja
Budaya
meliputi 2 (dua) hal penting, yaitu :
1.
Makro budaya
Merupakan seperangkat
nilai dan simbol yang berlaku pada keseluruhan masyarakat. Masyarakat mengacu
pada sistem sosial yang lebih besar dan bersifat kompleks, namun terorganisasi
denganbaik
2.
Mikro Budaya
Mengacu pada
seperangkat nilai dan simbol dari kelompok yang lebih terbatas, misalnya
kelompok agama, etnis atau sub bagian dari keseluruhan. Pada umumnya mikro
budaya seringkali disebut sebagai sub budaya, namun agar tidak terjadi
inferioritas, maka digunakan istilah sub budaya.
Budaya mencakup elemen
abstrak dan materiil, elemen abstrak mencakup nilai, sikap, gagasan, tipe
kepribadian, gagasan, serta agama. Sedangkan, komponen materiil mencakup benda
benda seperti buku, komputer, peralatan, gedung, dsbnya.
Konsumen mendapatkan
nilai nilai budaya karena budaya merupakan sesuatu yang bisa dipelajari, saat
manusia lahir ia belajar tentang norma yang berada dilingkungannya, yang
dilakukan dengan cara peniruan (imitation) atau dengan mengamati proses yang
terjadi didalam masyarakat. Pada saat akan membuat perencanaan iklan perlu
diketahui pula nilai nilai budaya yang dianut oleh konsumen, misalnya tentang
cara berpakaian, selera makanan, cara mereka menghabiskan waktu luang, dsbnya.
Budaya selalu
ditanamkan dari satu generasi ke generasi berikutnya, terutama dilakukan
melalui lembaga seperti keluarga, pendidikan,agama, dan sekolah. Sehingga,
nilai-nilai budaya yang ditanamkan sejak kecil melalui keluarga, akan tertanam
dalam individu sejak kecil hingga dewasa, meskipun nilai nilai budaya juga bisa
ditanamkan melalui pendidikan, dimana pendidikan sebagai proses belajar dan
transfer ilmu juga dipakai untuk mengenalkan budaya kepada individu. Individu
mengenal budaya dari sejak sekolah dasar, dan diajarkan untuk mencintai budaya
yang ada, sehingga peran budaya ini akan terbawa dalam sikap dan perilaku
konsumen.
Budaya senantiasa
berkemband dan budaya menjadi sebuah entitas (entity), dimana budaya merupakan
entitas yang melayani manusia dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan biologis dan
sosial dasar dari masyarakat.
Budaya bersifat
adaptif, dimana strategi pemasaran yang didasarkan pada nilai-nilai masyarakat
harus bersifat adaptif. Budaya beradaptasi dengan perubahan yang terjadi
didalam masyarakat, sehingga untuk mengenali trend yang ada didalam masyarakat
serta menciptakan strategi pemasaran yang tepat, harus mengacu pada nilai
budaya yang ada dalam masyarakat, karena hal-hal yang terjadi didlam masyarakat
bisa saja kontroversial tetapi dengan adanya budaya, maka perubahan yang
terjadi didalam masyarakat dapat diprediksi dengan menggunakan budaya setempat.
4.Struktur Konsumsi
Struktur konsumsi
adalah sebagai gerakan bertentangan permintaan dan penawaran selalu berubah. Memeriksa
struktur konsumsi wajar, juga harus memeriksa perubahan di alam. Informasi
konsumen tercermin sebagai perubahan jinak: data survival dalam belanja
konsumen dalam proporsi secara bertahap menurun, perkembangan informasi dan
kenikmatan secara bertahap meningkatkan proporsi informasi, dalam berbagai
bentuk pengeluaran konsumsi, penurunan bertahap dalam proporsi makanan,
pakaian, perlengkapan dan secara bertahap meningkatkan proporsi , proporsi
pengeluaran makanan, makanan utama telah menurun, meningkatkan proporsi makanan
non-pokok, mengenakan belanja konsumen, membeli mid-range, high-end consumer
goods dan barang-barang belanja konsumen meningkatkan proporsi produk low-end
telah menurun, dalam pembangunan perumahan, meningkatkan proporsi investasi dalam
ekspansi baru, investasi pemeliharaan telah menurun, meningkatkan proporsi
konsumsi komoditas, konsumsi subsisten telah menurun, dalam total konsumsi,
meningkatkan proporsi biaya pelayanan, pengeluaran komoditas telah menurun,
untuk konsumsi spiritual meningkatkan proporsi untuk konsumsi bahan telah
menurun, dan sebagainya. Perubahan tren jinak keseluruhan, tidak
mengesampingkan masa parsial transformasi terbalik. Misalnya, karena pasokan
dan kondisi permintaan meningkatkan peningkatan kualitas meninggalkan
pengeluaran meningkat makanan.
5.Dampak nilai-nilai inti terhadap pemasar
a)Kebutuhan
Konsep
dasar yang melandasi pemasaran adalah kebutuhan manusia. Kebutuhan manusia
adalah pernyataan dari rasa kahilangan, dan manusia mempunyai banyak kebutuhan
yang kompleks. Kebutuhan manusia yang kompleks tersebut karena ukan hanya fisik
(makanan, pakaian, perumahan dll), tetapi juga rasa aman, aktualisasi diri,
sosialisasi, penghargaan, kepemilikan. Semua kebutuhan berasal dari masyarakat
konsumen, bila tidak puas consumen akan mencari produk atau jasa yang dapat
memuaskan kebutuhan tersebut.
b)Keinginan
Bentuk
kebutuhan manusia yang dihasilkan oleh budaza dan kepribadian individual
dinamakan keinginan. Keinginan digambarkan dalam bentuk obyek yang akan
memuaskan kebutuhan mereka atau keinginan adalah hasrat akan penawar kebutuhan
yang spesifik. Masyarakat yang semakin berkembang, keinginannya juga semakin
luas, tetapi ada keterbatasan dana, waktu, tenaga dan ruang, sehingga
dibutuhkan perusahaan yang bisa memuaskan keinginan sekaligus memenuhi
kebutuhan manusia dengan menenbus keterbatasan tersebut, paling tidak
meminimalisasi keterbatasan sumber daya. Contoh : manusia butuh makan, tetapi
keinginan untuk memuaskan lapar tersebut terhgantung dari budayanya dan
lingkungan tumbuhnya. Orang Yogya akan memenuhi kebutuhan makannya dengan
gudeg, orang Jepang akan memuaskan keinginannya dengan makanan sukayaki dll.
c)Permintaan
Dengan keinginan dan kebutuhan serta
keterbatasan sumber daya tersebut, akhirnya manusia menciptakan permintaan akan
produk atau jasa dengan manfaat yang paling memuaskan. Sehingga muncullah
istilah permintaan, yaitu keinginan menusia akan produk spesifik yang didukung
oleh kemampuan dan ketersediaan untuk membelinya.
6.Perubahan
Nilai
Budaya juga perlu mengalami perubahan nilai. Ada beberapa aspek dari
perlunya perluasan perubahan budaya yaitu :
1. Budaya merupakan konsep yang meliputi banyak
hal atau luas. Hal tersebut termasuk segala sesuatu dari pengaruh proses
pemikiran individu dan perilakunya. Ketika budaya tidak menentukan sifat dasar
dari frekuensi pada dorongan biologis seperti lapar, hal tersebut berpengaruh
jika waktu dan cara dari dorongan ini akan memberi kepuasan.
2. Budaya adalah hal yang diperoleh. Namun tidak
memaksudkan mewarisi respon dan kecenderungan. Bagaimanapun juga, bermula dari
perilaku manusia tersebut.
3. Kerumitan dari masyarakat modern yang
merupakan kebenaran budaya yang jarang memberikan ketentuan yang terperinci
atas perilaku yang tepat.
a) Variasi nilai perubahan dalam nilai budaya
terhadap pembelian dan konsumsi
Nilai budaya memberikan dampak yang lebih pada perilaku konsumen dimana dalam hal ini dimasukkan kedalam kategori-kategori umum yaitu berupa orientasi nilai-nilai lainnya yaitu merefleksi gambaran masyarakat dari hubungan yang tepat antara individu dan kelompok dalam masyarakat. Hubungan ini mempunyai pengaruh yang utama dalam praktek pemasaran. Sebagai contoh, jika masyarakat menilai aktifitas kolektif, konsumen akan melihat kearah lain pada pedoman dalam keputusan pembelanjaan dan tidak akan merespon keuntungan pada seruan promosi untuk “menjadi seorang individual”. Dan begitu juga pada budaya yang individualistik. Sifat dasar dari nilai yang terkait ini termasuk individual/kolektif, kaum muda/tua, meluas/batas keluarga, maskulin/feminim, persaingan/kerjasama,dan,perbedaan/keseragaman.
b) Individual/kolektif
Budaya individualis terdapat pada budaya Amerika, Australia, Inggris, Kanada, New Zealand, dan Swedia. Sedangkan Taiwan, Korea, Hongkong, Meksiko, Jepang, India, dan Rusia lebih kolektifis dalam orientasi mereka. Nilai ini adalah faktor kunci yang membedakan budaya, dan konsep diri yang berpengaruh besar pada individu. Tidak mengherankan, konsumen dari budaya yang memiliki perbedaan nilai, berbeda pula reaksi mereka pada produk asing, iklan, dan sumber yang lebih disukai dari suatu informasi. Seperti contoh, konsumen dari Negara yang lebih kolektifis cenderung untuk menjadi lebih suka meniru dan kurang inovatif dalam pembelian mereka dibandingkan dengan budaya individualistik. Dalam tema yang diangkat seperti ” be your self” dan “stand out”, mungkin lebih efektif dinegara amerika tapi secara umum tidak di negara Jepang, Korea, atau Cina.
Dalam hal
ini apakah dalam budaya pada suatu keluarga, anak-anak sebagai kaum muda lebih
berperan dibandingkan dengan orang dewasa dalam pembelian. Dengan kata lain
adalah melihat faktor budaya yang lebih bijaksana dalam melihat sisi dari peran
usia. Seperti contoh di Negara kepulauan Fiji, para orang tua memilih untuk
menyenangkan anak mereka dengan membeli suatu barang. Hal ini berbeda dengan
para orang tua di Amerika yang memberikan tuntutan yang positif bagi anak
mereka. Disamping itu, walaupun Cina memiliki kebijakan yang mengharuskan untuk
membatasi keluarga memiliki lebih dari satu anak, tetapi bagi budaya mereka
anak merupakan “kaisar kecil” bagi mereka. Jadi, apapun yang mereka inginkan
akan segera dipenuhi. Dengan kata lain, penting untuk diingat bahwa segmen
tradisional dan nilai masih berpengaruh dan pera pemasar harus menyesuaikan
bukan hanya pada lintas budaya melainkan juga pada budaya didalamnya.
d) Luas/batasan keluarga
Yang
dimaksud disini adalah bagaimana keluarga dalam suatu budaya membuat suatu
keputusan penting bagi anggota keluarganya. Dengan kata lain apakah peran orang
dewasa (orang tua) memiliki kebijakan yang lebih dalam memutuskan apa yang
terbaik bagi anaknya. Atau malah sebaliknya anak-anak memberi keputusan sendiri
apa yang terbaik bagi diri mereka sendiri. Dan bisa dikatakan juga bahwa
pengaruh pembelian oleh orang tua akan berpengaruh untuk seterusnya pada anak.
Seperti contoh pada beberapa budaya yaitu seperti di Meksiko, sama halnya
dengan Amerika, peran orang dewasa sangat berpengaruh. Para orang tua lebih
memiliki kecenderungan dalam mengambil keputusan dalam membeli. Begitu juga
para orang dewasa muda di Thailand yang hidup sendiri diluar dari orang tua
atau keluarga mereka. Tetapi ketergantungan dalam membeli masih dipengaruhi
oleh orang tua maupun keluarga mereka. Yang lain halnya di India, sesuatu hal
yang akan dibeli diputuskan bersama-sama dalam satu keluarga yaitu seperti
diskusi keluarga diantara mereka.
7.Teori Perubahan
Institusi
Perubahan dapat terjadi pada setiap level.
Tidak ada lembaga yang bersifat permanen. Ia akan selalu berubah menuju tatanan
kelembagaan (institutional arrangement) yang lebih efisien. Banyak teori yang
menjelaskan mengenai perubahan kelembagaan. Dari sejumlah teori yang ada,
Schlueter dan Hanisch (1999) mengklasifikasi teori perubahan kelembagaan dalam
tiga kelompok, yaitu: berdasarkan efisiensi ekonomi; berdasarkan teori
distribusi konflik (distributional conflict theory); dan berdasarkan teori
kebijakan publik.
Teori perubahan kelembagaan berbasiskan
efisiensi ekonomi memiliki tiga arus pemikiran utama. Arus pemikiran pertama
disampaikan oleh Prof. Friedrich Hayek, ekonom terkemuka Austria dan pendukung
utama ekonomi neo klasik. Menurut Hayek, perubahan kelembagaan bersifat
spontan, tidak disengaja, namun merupakan hasil dari tindakan yang disengaja
(Hayek, 1968). Artinya bahwa seseorang atau sekelompok masyarakat tidak akan
membuat sebuah lembaga/aturan bila tidak ada dorongan yang menuntut aturan
tersebut harus ada. Yang dimaksud Hayek, “perubahan kelembagaan bersifat
spontan” adalah bahwa lahirnya dorongan untuk menciptakan atau merubah
kelembagaan bersifat spontan (unintenationally). Sedangkan aktifitas membuat
atau mewujudkan kelembagaannya bersifat disengaja (intentional). Sebagai
contoh, pembuatan perda tentang pengelolaan sumberdaya air tanah merupakan
tindakan yang disengaja, tapi lahirnya kebutuhan adanya perda tersebut bersifat
spontan sebagai respons terhadap situasi yang berkembang.
Cabang kedua tentang teori perubahan
kelembagaan mengatakan bahwa sebuah lembaga/aturan berubah karena adanya upaya
melindungi hak-hak kepemilikan (property rights). Artinya, seseorang atau
anggota masyarakat terdorong membuat sebuah aturan tujuan utamanya adalah untuk
melindungi hak-hak kepemilikan dari gangguan yang datang dari luar. Adanya land
tenure system (sistem kepemilikan lahan) dalam masyarakat adat bertujuan agar
hak-hak lahan terdistribusi di antara anggota masyarakat adat tersebut dan
mereka memiliki kepastiang mengenai hal tersebut. Pemikiran ini disampaikan
antara lain oleh Posner (1992).
Pemikiran ketiga perubahan ekonomi
kelembagaan berdasarkan atas efisiensi ekonomi antara lain disampaikan oleh
Oliver Williamson, Professor Ekonomi dan Hukum. Menurutnya, lembaga/aturan akan
terus berubah/bergerak dinamis sebagai upaya meminimumkan biaya transaksi
(transaction cost) (Williamson, 2000). Perubahan biaya informasi, penegakan
hukum, perubahan harga, teknologi dll mempengaruhi insentif/motivasi seseorang
dalam berinteraksi dengan pihak lain. Hal ini akan berpengaruh pada perubahan
kelembagaan (North, 1990). Perubahan harga relatif faktor produksi akan
mendorong pihak yang terlibat dalam transaksi melakukan negosiasi untuk
mencapai kesepakatan-kesepakatan baru. Perubahan kesepakatan atau kontraktual
akan sangat sulit tanpa perubahan aturan main. Oleh karena itu, North
menegaskan, perubahan harga membawa pada perubahan aturan main.
Selain itu, kelembagaan juga tidak resisten
terhadap perubahan selera atau kesukaan anggota masyarakat/aktor-aktor yang
terlibat dalam sebuah komunitas. Perubahan tersebut, sebagaimana diyakini North
(1990), akan mengancam existensi kelemabagaan yang ada. Jika para aktor
mersakan bahwa kelembagaan yang berlaku sudah tidak relevan lagi dengan
perkembangan atau kondisi lingkungan yang ada, maka ia akan berusaha melakukan
perubahan kelembagaan agar lebih akomodatif terhadap lingkungan yang baru.
Kehilangan nilai budaya, norma, tradisi dll dari sebuah komunitas merupakan
contoh perubahan kelembagaan karena adanya perubahan kondisi lingkungan, baik
karena pengaruh eksternal sosial ekonomi komunitas tersebut maupun karena faktor
internal. Sebagai contoh, permintaan pasar ikan karang yang tinggi dengan harga
yang sangat bagus merupakan insentif bagi nelayan untuk menangkap ikan sebanyak
mungkin. Karena itu, larangan menangkap ikan karang sebagaimana berlaku di
beberapa kawasan konservasi laut dianggap oleh para nelayan sebagai faktor
penghambat mencari keuntungan ekonomi. Sehingga, nelaya akan berusaha mengubah,
mencabut atau mengabaikan larangan tersebut. Pencabutan atau perubahan sebagian
dari aturan tersebut merupakan bentuk perubahan kelembagaan.
Demikian juga, ketika undang-undang no.
24/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan dianggap sudah tidak relevan lagi dengan
kondisi terkini sehingga tidak effektif, maka pemerintah mengupayakan perubahan
atas undang-undang tersebut yang drafnya kini sedang dibahas. Pada saat
undang-udang tentang tata ruang dirasa sudah tidak sesuai lagi maka pemerintah
akan berupaya menggantinya dengan undang-undang baru yang bisa lebih baik.
Perubahan kelembagaan akan terus berlangsung untuk meminimumkan biaya
transaksi.
Teori kedua yang menjelaskan perubahan
kelembagaan adalah distributional conflic theory. Teori ini didasarkan atas
asumsi bahwa setiap aktor dalam sebuah arena (komunitas) memiliki perbedaan
kepentingan dan kekuatan. Perbedaan kepentingan ini merupakan sumber konflik.
Setiap aktor yang terlibat konflik akan berusaha mencari solusi atas konflik
tersebut dengan memanfaatkan keuatan (power) yang ia miliki dengan jalan
mengubah aturan main yang berlaku. Aktor yang dapat mengendalikan power atau
memiliki power lebih baik, misalnya karena menguasai informasi, akses politik,
modal, dll, akan mengendalikan proses perubahan tersebut agar berpihak pada
kepentingannya (Knight, 1992). Perubahan kelembagaan tersebut bukan untuk
memuaskan semua pihak atau untuk mencapai kepentingan kolektif melainkan untuk
kepentingan mereka yang punya kekuatan. Proses perubahan tersebut bisa
disengaja atau bisa pula sebagai konsekuensi dari stratrgi mencari keuntungan
dari aktor-aktor yang bermain. Oleh karena itu, sering ditemukannya tarik
menarik dalam proses pembuatan undang-undang karena adanya perbedaan
kepentingan dari setiap aktor yang bermain. Mereka tidak peduli apakah
kelembagaan baru tersebut akan lebih efisien atau tidak. Yang penting,
bagaimana agar aturan main yang baru tersebut dapat menguntungkan kelompoknya
(Knight, 1992).
Mengenai power, Knight (1992)
mendefinisikannya sebagai kekuatan untuk mempengaruhi orang lain agar bertindak
sesuai dengan kepentingannya. Jika “A” lebih powerful dari pada “B”, maka “A”
akan mampu memaksa “B” mengadopsi aturan main yang ide utamanya berasal dari
“A” atau dibuat oleh “A”. Dalam hal ini, pada awalnya “A” tidak memikirkan
kepentingan “B” meskipun pada akhirnya bisa jadi aturan baru tersebut juga
menguntungkan “B”. Dalam hal ini, ketaatan kelompok B atas kelembagaan baru
bukan karena mereka setuju dengan isinya, atau menguntungkannya, melainkan
karena mereka tidak mampu membuat yang lebih menguntungkan baginya. Kondisi
ini, menurut Knight, akan terus berlangsung selama power resources tidak
terdistribusi secara merata atau asymmetric power condition.
Sumber
http://esty.staff.uns.ac.id/pengaruh-budaya-terhadap-perilaku-konsumen/